makalah munakahat





MUNAKAHAT
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Umum
“Pendidikan Agama Islam”

DOSEN PENGAMPU:
Drs. H. Makmuri


 

MATA KULIAH UMUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah dengan judul Munakahat dapat kami selesaikan dengan baik, dengan tujuan memenuhi tugas Mata Kuliah Umum Pendidikan Agama Islam.
Makalah dengan judul Munakahat ini berisi materi mengenai pengertian pernikahan, hukum, rukun dan syarat, iddah dan talak. Dengan makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam mengenai pernikahan dan dapat mengetahui hukum-hukum pernikahan, sehingga tidak salah mengerti dan tidak melakukan hal yang telah dilarang agama.
Ucapan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kepada pembaca kami harapkan saran dan kritik  yang konstruktif  untuk kesempurnaan makalah ini, karena kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. 
Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca dalam pembinaan diri menjadi manusia yang religius yang siap membangun bangsa dan landasan agama.




                                                                                                            Semarang, 7 Mei 2013
                                                           
                                                                                                                        Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................  ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................  iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1         LATAR BELAKANG MASALAH  ....................................................  1
1.2         RUMUSAN MASALAH ......................................................................  1
1.3         TUJUAN MASALAH ..........................................................................  1
BAB II PEMBAHASAN
2.1         PENGERTIAN MUNAKAHAT ..........................................................  2        
2.2         HUKUM MUNAKAHAT ....................................................................  3
2.3         TUJUAN MUNAKAHAT ....................................................................  4
2.4         RUKUN DAN SYARAT NIKAH .......................................................  5
2.5         MUHRIM ..............................................................................................  8
2.6         KEWAJIBAN SUAMI ISTRI ..............................................................  9
2.7         TALAK ..................................................................................................  10
2.8         IDDAH ..................................................................................................  12
2.9         RUJUK ..................................................................................................  13
BAB III PENUTUP
3.1         SIMPULAN ..........................................................................................  16
3.2         SARAN .................................................................................................  16
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................  17

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG
Manusia adalah mahluk yang sempurna. Namun juga manusia adalah mahluk yang sangat rentan tergoda oleh hal-hal yang ada didunia yang sementara ini. Dengan kesempurnaanya manusia, mereka mempunyai akal, nafsu dan pemikiran yang sangat berkembang namun hal diatas tidak menjamin bahwa manusia akan menjadi mahluk yang arif dan bijaksana. Dalam kehidupan sehari-hari manusia bahkan dapat bertindak melebihi mahluk lain yang notabene adalah mahluk yang tak sesempurna manusia. Hal ini menjadikan manusia begitu mudah terombang ambing dalam bertindak. Manusia membutuhkan lawan jenis untuk menyalurkan nafsu keinginannya dalam membangun ikatan pernikahan untuk menurunkan keturunan yang syah sesuai dengan ketentuan hukum islam. Oleh karena itu dalam makalah ini akan disampaikan menegnai hukum-hukum pernikahan sesuai syariat agama islam.

1.2    RUMUSAN MASALAH
Untuk mengkaji dan mengulas tentang pernikahan, maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.        Apa pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya   beserta dalil-dalilnya?
2.        Apa tujuan pernikahan?
3.        Apa rukun dan syarat pernikahan?
4.        Siapa orang yang haram dinikah atau dipinang?
5.        Bagaiman kewajiban seorang istri dan seorang suami?

1.3    TUJUAN MAKALAH
1.      Mengetahui pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya   beserta dalil-dalilnya?
2.      Mengetahui tujuan pernikahan?
3.      Mengetahui  rukun dan syarat pernikahan?
4.      Mengetahui orang yang haram dinikah atau dipinang?
5.      Mengetahui kewajiban seorang istri dan seorang suami?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Munakahat (Pernikahan)
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah  nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam.  Menurut U U  No : 1 tahun 1974,  Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Allah SWT. Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ غَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ  (رواه البخارى و مسلم)
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si peminang atau oleh orang lain yang  mewakilinya. Yang diperbolehkan selama khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya. Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku  dalam hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelolmpok yaitu :
1.        Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah bertunangan.
2.        Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).
2.2 Hukum Munakahat
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut:
1.    Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2.    Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah khawatir akan  terjerumus ke dalam perzinaan.
3.    Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4.    Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5.    Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.

2.3     Tujuan Munakahat
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia         (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang     bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Secara umum tujuan          pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1.        Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi bahagia  dan tentram. Allah SWT berfirman :
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu        isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram            kepadanya“. (Ar-Rum : 21).
2.        Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih sayang antara  suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21)
Artinya :”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang “. (Ar- Rum : 21).
3.        Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT.
4.        Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan dicatat sebagai ibadah.  Allah swt., berfirman :
Artinya :” Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai”. (An-Nisa’ : 3)
5.        Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:
أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى 
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Nikah itu adalah sunnahku, barang  siapa  tidak  senang  dengan sunahku,          maka bukan golonganku” (HR. Bukhori dan Muslim).
6.        Untuk  memperoleh keturunan yang syah. Allah SWT berfirman:
Artinya :” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46)

2.4  Rukun dan Syarat nikah
a.    Calon Suami, syaratnya:
a)      Beragama Islam,
b)      Bukan mahram calon istri,
c)      Tidak dipaksa dan dipaksa.
b.      Calon Istri, syaratnya:
a)      Beragama islam atau ahli kitab,
b)      Bukan mahram calon suami,
c)      Sedang tidak mempunyai suami,
d)     Tidak dalam masa iddah.
c.       Sigat aqad, yang terdiri dari ijab dan qobul
·         Ijab adalah ucapan wali mempelai perempuan yang berisi pernyataan menikahkan anaknya.
·         Qobul adalah ucapan calon suami yang berisi penerimaan nikah dirinya dengan calon istrinya.
v  Contoh  Ijab : Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan anak perempuan saya bernama si Fulan binti ……  dengan ……. dengan mas kawin seperangkat sholat dan 30 juz dari mushaf Al-Qur’an”.
أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكِ فُلاَنَة بِنْتِمَهْرِ عَدَوَاتِ الصَّلاَةِ وَثَلاَثِيْنَ جُزْأً مِنْمُصْحَافِالْقُرْاَنِ حَالاً
v  Contoh Qobul : Calon suami menjawab: “Saya terima nikah dan perjodohannya dengan diri saya dengan mas kawin tersebut di depan”. Bila dilafalkan dengan bahasa arab sebagai berikut :
قَبِلْتُ نِكَحَهَا وَتَزْوِجَهَا لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ
Perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah. Rasulullah    saw, bersabda : Artinya :”Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahan itu batal (tidak syah)”. (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).
d.      Wali mempelai perempuan, artinya orang yang berhak menikahkan dengan syarat:
a)      Laki-laki,
b)      Beragama islam,
c)      Balig,
d)     Berakal sehat,
e)      Merdeka,
f)       Adil,
g)      Tidak sedang ihram, haji, dan umrah.

Wali nikah di bagi menjadi 2 macam, yaitu:
1.        Wali nasab:  yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a)        Ayah kandung, ayah tiri tidak syah jadi wali,
b)        Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan) dan seterusnya ke atas,
c)        Saudara laki-laki sekandung
d)       Saudara laki-laki seayah
e)        Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f)         Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g)        saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah
h)        Anak laki-laki dari sdr laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah
i)          Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah yang seayah dengan ayah.

2.        Wali hakim: yaitu seorang kepala Negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim di limpahkan kepada pembantunya yaitu Menteri Agama. Kemudian menteri agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
a)        Wali nasab benar-benar tidak ada
b)        Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh (ab’ad) tidak ada.
c)        Wali aqrob bepergian jauh dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan berikutnya untuk berindak sebagai wali nikah.
d)       Wali nasab sedang berikhram haji atau umroh
e)        Wali nasab menolak bertindak sebagi wali nikah
f)         Wali yang lebih dekat masuk penjara sehingga tidak dapat berintak sebagai wali nikah
g)        Wali yang lebih dekat hilang sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.
h)        Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinnya :”Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika wali-wali itu menolak jadi wali nikah maka sulthan (wali hakim) bertindak sebagi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.(HR. Darulquthni)

e.          Dua orang saksi, syaratnya:
a)      Beragama Islam,
b)      Balig,
c)      Berakal sehat,
d)     Merdeka,
e)      Laki-laki,
f)       Adil,
g)      Tidak sedang ihram, haji, atau umrah.
Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah saw.,  bersabda لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(روه احمد )
Artinya:”Tidak syah nikah seseorang melainkan dengan  wali dan 2 orang saksi yang       adil”. (HR. Ahmad)
Setelah selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW bersabda :”Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya’. (HR. Bukhori).
2.5  Muhrim

Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan. Menurut Istilah dalam ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Penyebab wanita yang haram dinikahi ada 4 macam:
1.      Wanita yang haram dinikahi karena keturunan
a)      Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b)      Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c)      Saudara perempuan sekandung (sekandung, sebapak atau seibu).
d)     Saudara perempuan dari bapak.
e)      Saudara perempuan dari ibu.
f)       Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g)      Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

2.      Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan
a)      Ibu yang menyusui.
b)      Saudara perempuan sesusuan
3.      Wanita yang haram dinikahi karena perkawainan
a)      Ibu dari isrti (mertua)
b)      Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami sudah kumpul dengan ibunya.
c)      Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah di cerai atau belum. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa: 22)
d)     Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
4.      Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang             bersaudara, terhadap perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan     dengan kemenakannya. (lihat An-Nisa : 23)

2.6  Kewajiban Suami Istri
Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan kewajiban-kewajiban hidup berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah SWT semata. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (An-Nisa : 34).
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Istri adalah penaggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan”. (HR. Bukhori Muslim).
Secara umum kewajiban suami istri adalah sebagi berikut :
2.6.1 Kewajiban Suami
a)      Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal.(lihat At-Thalaq:7)
b)      Bergaul dengan istri secara makruf,yaitu dengan  cara  yang  layak  dan patut. Misalnya dengan  kasih  sayang, menghargai, memperhatikan dan sebagainya.
c)      Memimpin keluarga, dengan cara membimbing, memelihara semua anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab. (Lihat An-Nisa : 34).
d)     Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang shaleh. (At-Tahrim:6)
2.6.2 Kewajiban Istri
a)      Patuh dan taat pada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Perintah suami yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak wajib di taati.
b)      memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami.
c)      Mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan  fungsi  ibu  sebagai  kepala rumah tangga.
d)     Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama. Allah swt, berfirman:
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (At-Tahrim : 6)
e)      Bersikap hemat, cermat, ridha dan syukur serta bijaksana pada suami.

2.7  Talak
2.7.1 Pengertian Dan Hukum Talak
Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak adalah makruh, sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah swt. Nabi Muhammad saw,  bersabda :
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَق
(رواه ابوداود)
Artinya :”Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu    Daud)
2.7.2        Rukun Talak
a)      Yang menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b)      Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c)      Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas) maupun dengan carakinayah (sindiran).
v  Cara sharih, misalnya “saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, maka jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
v  Cara kinayah, misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan orang lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.


2.7.3        Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata  yang  jelas  atau  dengan  kata-kata  sindiran. Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh rujuk  (kembali) sebelum habis masa idahnya  dan apabila masa idahnya telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. (lihat Al-Baqoroh :  229).  Pada talak  3  suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi sebelum  istrinya  itu nikah dengan laki-laki lain  dan sudah digauli serta telah ditalak oleh suami keduanya itu”.

2.7.4        Macam-Macam Talak.
 Talak dibagi menjadi 2 macam yaitu
1)      Talak Raj’i  yaitu  talak  dimana  suami  boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak raj’I ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.
2)      Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan talak bain kubra.
·         Talak bain sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk  dengan cara akad  nikah lagi baik masih dalam masa idah atau sudah habis masa idahnya.
·         Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam waktu yang berbeda. Dalam  talak ini suami tidak boleh rujuk  atau  menikah dengan  bekas istri kecuali  dengan syarat:
a)      Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
b)      Telah dicampuri dengan suami yang baru.
c)      Telah dicerai dengan suami yang baru.
d)     Telah selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.


2.7.5        Macam-macam Sebab Talak.
 Talak bisa terjadi karena :
1)      Ila’ yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan adat arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau  mentalaknya.
2)      Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4 kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : “Laknat Allah swt atas diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan yang kelima dengan kata-kata: “Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar”.
3)      Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan ibunya seperti : “Engkau seperti  punggung ibuku “. Dzihar merupakan adat jahiliyah yang dilarang Islam sebab dianggap  salah satu cara  menceraikan istri.
4)      Khulu’ (talak tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada suami. Talak tebus  biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain:
·         Istri sangat benci kepada suami,
·         Suami tidak dapat memberi nafkah.
·         Suami tidak dapat membahagiakan istri.
5)      Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
·         Karena rusaknya akad nikah seperti :
a)      diketahui bahwa istri adalah mahrom suami,
b)      Salah seorang suami / istri keluar dari ajaran Islam.
c)      Semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya masuk Islam.


·         Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti :
a)      Terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baik ternyata penjahat.
b)      Suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah         tangga.
c)      Suami dinyatakan hilang.
d)     Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.

2.7.6        Hadhonah.
Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri bercerai maka yang berhak  mengasuh anaknya adalah:
a)        Ketika masih kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya.
b)        Jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.

2.8    Iddah
Secara bahasa  iddah  berarti  ketentuan. Menurut istilah iddah ialah masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.
1.      Lamanya Masa Iddah.
a.        Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
b.       Wanita  yang tidak hamil, sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya   4 bulan 10 hari. (lihat QS. Al-Baqoroh  ayat 234)
c.        Wanita yang dicerai suaminya sedang ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali quru’ (tiga kali suci). (lihat QS.  Al-Baqoroh : 228)
d.       Wanita yang tidak haid atau belum haid masa idahnya selama tiga bulan. (Lihat  QS, At-Talaq :4)
e.        Wanita  yang  dicerai  sebelum  dicampuri  suaminya  maka  baginya  tidak ada  masa iddah. (Lihat QS. Al-Ahzab  : 49)
2        Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a.       Perempuan yang  taat dalam iddah raj’iyyah (dapat rujuk)  berhak mendapat dari suami yang mentalaknya: tempat  tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang  wanita yang durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b.      Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya berhak  atas tempat tinggal saja. (Lihat QS. At-Talaq : 6)
c.       Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya berhak mendapat harta  warits suaminya.

2.9       Rujuk.
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami istri pada ikatan perkawinan setelah terjadi talak raj’i dan  masih dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk  adalah QS. Al-Baqoroh: 229, yang artinya sebagai berikut: ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,  jika mereka (para suami) menghendaki rujuk”.
1.      Hukum Rujuk.
a)      Mubah, adalah asal hukum rujuk.
b)      Haram, apabila si istri dirugikan serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk.
c)      Makruh, bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat.
d)     Sunat, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
e)      Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu.

2.      Rukun Rujuk.
a)      Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b)      Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa.
c)      Sighat (lafal rujuk).
d)     Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.

·         PERKAWINAN MENURUT UU No: 1 tahun 1974.

1.      Garis besar Isi UU No : 1 tahun 1974.
UU No : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal.
2.      Pencatatan Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa : “Tiap-tiap  perkawinan  dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan tentang pelaksanaan pencatatan perkawinan ini tercantun dalam PP No : 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2 sampai 9.
3.      Syahnya Perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat 1 ditegaskan  bahwa : “Perkawina adalah syah apabila dilakukan menurut  hukum  masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”.
4.      Tujuan Pekawinan.
Dalam  Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan perkawina adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)  yang  bahagia  dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5.      Talak.
Dalam  Bab  VIII pasal 29  ayat 1 dijelaskan  bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan  yang  bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua  belah fihak.
6.      Batasan Dalam Berpoligami.
·         Dalam  pasal 3 ayat 1 diljelaskan bahwa :”Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya  boleh  mempunyai  seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
·         Dalam  pasal 4 dan  5  ditegaskan bahwa dalam  hal  seorang  suami akan beristri lebih dari seorang ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat  tinggalnya.
·         Pengadilan hanya memberi ijin  berpoligami  apabila :
a)      Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b)      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
c)      Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
d)     Dalam pengajuan berpoligami  harus dipenuhi syarat-syarat :
ü  Adanya persetujuan dari istri.
ü  Adanya  kepastian  bahwa  suami  mampu  menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
ü  Adanya  jaminan  bahwa  suami akan  belaku  adil  terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.



 BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa munakahat merupakan salah satu wujud dari ibadah kepada Allah SWT, Di dalam islam tidak ada istilah pacaran, saat saling mengenal dikenal dengan istilah khitbah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam.  Menikah wajib bagi seseorang yang sudah siap baik mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan dilakukan dengan talak, di dalam islam talak diperbolehkan, tetapi sangat di benci oleh Allah, jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan untuk kembali, yaitu dengan rujuk.
3.2  Saran
Sebagai salah satu umat islam sebaiknya setelah siap mental maupun fisiknya, disegerakan menikah selain untuk menghindari zina, juga dapat menjadi suatu ibadah jika dilakukan untuk mencadi ridho Allah SWT dan memenuhi kewajiban sebagai umat islam.












1 komentar: